SOROT 480

Mau Eksis atau Narsis?

Seorang gadis sedang selfie dengan latar lukisan mural di Jakarta
Sumber :
  • REUTERS/Agoes Rudianto

VIVA – “Kalau bicara media sosial, kayaknya hampir semuanya saya punya,” ujar Yana Maliyana. Kepada VIVA, karyawan berusia 28 tahun ini menuturkan, ketika ada media sosial (medsos) jenis baru, dia akan segera bikin akunnya. “Yang jelas bikin saja dulu biar gak ketinggalan zaman,” katanya beralasan.

Kota New York Tuntut Instagram, TikTok, Facebook, Youtube Perihal Kesehatan Mental Anak Mudanya

Yana kerap memposting foto ke akunnya di medsos. “Ketika saya lagi pergi. Kadang kan ada tempat - tempat yang mungkin kita pengen datangin terus ada kesempatan. Nah di situ lah gua upload foto - foto diri gua, sama pemandangan lah. Kebanyakan sih foto sendiri,” ujarnya menambahkan.

Ia mengaku, tiap hari selalu update medsosnya. “Kalau instastory, snapchat itu kan yang pendek-pendek. Bisa foto atau video. Sehari tuh hampir pasti ada,” ujarnya.

Instagram, TikTok, YouTube Raup Cuan Kakap dari Pengguna di Bawah Umur

Menurut dia, alasan kerap posting foto di medsos karena untuk menunjukkan ‘sesuatu’ ke publik, terutama teman-temannya. Alasannya, sebagai bagian dari upaya menjalin komunikasi dan interaksi. “Jadi ga sekadar narsis.”

Yana tak sendiri. Hal yang sama dialami Filani Olyvia (25 tahun). Warga Mampang Prapatan di Jakarta Selatan ini mengaku memiliki banyak akun medsos. Bahkan, ia sudah bermain medsos sejak sekolah menengah atas.  “Biar enggak ketinggalan informasi dan eksistensi diri sendiri,” ujarnya kepada VIVA.

8 Ciri-ciri Orang Narsistik, Apakah Kamu Miliki Salah Satunya?

Sorot Narsis - Selfie - Fotografer

Seorang wanita mengambil foto wanita lain bersama seekor kucing. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Sama seperti yang lain, ia juga kerap memposting foto di akun medsos miliknya. Alasannya, agar bisa tetap eksis. “Eksistensi. Kalau enggak posting apa-apa nanti malah dilupakan sama netizen,” ujarnya seraya tertawa.

“Yang pasti momen tertentu yang menyenangkan. Muka saya yang terlihat cantik terus foto bareng teman - teman, keluarga. Dan pasti momen langka yang saya kira jarang terjadi, ingin saya bagikan. Karena media sosial khususnya instagram kan siapa pun bisa lihat. Apalagi akun saya ga dikunci,” ujar Chelzea Verhoeven, penggila medsos yang lain kepada VIVA.

Chelzea mengaku, ia sengaja membuat akun medsos dan rajin posting foto karena ingin pamer. “Mungkin secara tidak langsung pamer. Tapi dalam arti positif yang ga lebay. Pamer pemandangan, bisa jalan - jalan. Habis itu kalau lagi make up kan bisa ditunjukkin ke orang – orang,” ujar perempuan 24 tahun ini.

Sementara, bagi Azas Tigor Nainggolan, medsos adalah sarana ia kampanye. Selain itu juga untuk memperkenalkan diri. “Kalau saya memang hobi setiap kegiatan atau pemikiran, ide, kritik terhadap kebijakan pemerintah saya upload,” ujar pegiat sosial yang juga pendiri Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) ini kepada VIVA.

“Prinsipnya sosial media itu buat saya untuk berbagi. berbagi pengalaman, berbagi ide, berbagi pemikiran,” ujar aktivis ini menambahkan.

Kecanduan Narsis

Yana mengakui, ‘eksis’ di medsos sudah menjadi kebutuhan. Meski ia aktivitasnya itu kadang mengganggu interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya.  Sementara bagi Filani, medsos itu antara butuh dan tak butuh. Ia mengaku membutuhkan medsos untuk hiburan, update kehidupan orang dan yang utama eksistensi diri sendiri.

“Kalau dipaksa tanpa itu sebenarnya pasti bisa. Tapi, selama akses ke sana terbuka lebar kayaknya aku enggak bakal menutup diri buat terus jadi bagian Instagram, Twitter atau Facebook sih,” ujarnya.

Sementara, Chelzea mengaku sangat membutuhkan medsos. Menurut dia, jika tak ada medsos hidupnya serasa hampa. “Rada hampa gitu. Bukan soal media sosial atau instagram aja ya. Handphone dan media sosial lainnya sudah kayak kebutuhan wajib sehari-hari,” ujarnya.

Ia juga mengakui, karena sudah kecanduan medsos kerap mengabaikan lingkungan sekitar. “Kalau lagi keasyikan lihat - lihat instagram suka lupa orang di sekitar. Pernah sampai ditegur.”

Menurut sosiolog Devie Rahmawati, setiap hari ada 80 juta foto yang diunggah di Instragram, 3,5 milyar like per hari di media sosial, dan 1,4 milyar orang yang mempublikasikan kehidupan mereka setiap hari melalui facebook. Menurut dia, kondisi ini diyakini sebagai salah satu tanda bahwa manusia di dunia telah terjangkit virus narsis.

“Data di US memang menunjukkan dalam waktu 10 tahun terakhir ada peningkatan manusia yang mengidap penyakit Narcissistic Personality Disorder (NPD), yaitu penyakit gangguan mental narsis, yang angkanya terus bersaing dengan penyakit obesitas,” ujarnya kepada VIVA.

Sorot Narsis - Selfie - Fotografer

Seorang wanita melakukan selfie menggunakan smartphone di Jakarta. (REUTERS/Beawiharta)

Gangguan ini ditandai paling sedikit dalam tujuh karakter yakni, keinginan untuk terus dikagumi, merasa diri paling penting, rendahnya empati dan memiliki mimpi tentang kesuksesan yang besar. Selain itu juga menunjukkan rasa kasih yang rendah terhadap orang lain, memilih teman berdasarkan status yang dimiliki bukan kualitas seseorang dan selalu mencari perhatian orang lain

Menurut Devie, teknologi hanya menjadi arena ekspresi, sebagai kaca dari orang-orang yang sudah memiliki kecenderungan untuk menjadi narsis. Namun, apakah benar, teknologi yang mendorong seseorang memiliki karakter narsis?

“Berdasarkan studi di Inggris, sesungguhnya bukan teknologi yang melahirkan gangguan ini, melainkan manusia memang memiliki potensi untuk berperilaku narsis,” ujar sosiolog asal Universitas Indonesia ini menambahkan.

Kondisi yang paling signifikan mengganggu dari narsis ini ialah tidak adanya empati. Padahal, menurut Devie, empati merupakan perekat sosial, yang membuat hubungan antara manusia menjadi terikat satu sama lain. “Ketika perekat itu hilang, yang terjadi adalah ‘kekacauan sosial’, di mana kesetiakawanan sosial hilang dan hubungan menjadi rentan.”

Sementara bagi Azas Tigor, manusia memang harus eksis. Pasalnya, manusia adalah makhluk sosial. “Jadi bagi saya, eksistensi manusia itu ada. Artinya dia harus menunjukkan dia itu ada,” ujarnya.

Ingin Diakui

Menurut psikolog Klinis Arudina, setiap manusia pada dasarnya punya kebutuhan eksistensi. Karena dengan begitu ia menjadi 'ada' dan diakui lingkungan sekitarnya. Menurut dia, seiring perkembangan zaman, kebutuhan ini terfasilitasi dengan teknologi, salah satunya media sosial. “Ini kemudian yang menimbulkan narcissism. Karena akses kita untuk menampilkan diri dan menunjukkan kehidupan kita ke orang lain menjadi lebih mudah dilakukan,” ujarnya kepada VIVA.

Bagi Arudina, itu merupakan sesuatu yang wajar. Karena manusia memang punya kebutuhan untuk eksis. “Jadi tidak wajar kalau sudah membuat gelisah, cemas, dan muncul perasaan tidak enak kalau tidak memposting sesuatu tentang dirinya di media sosial. Nah kalau perasaan tidak enak ini pada akhirnya mengganggu kegiatan sehari-hari, ini berarti sdh tdk wajar. Kebutuhan utk eksis tadi sdh tdk wajar dan berubah menjadi narcissism.”

Pengamat media sosial Nukman Luthfie mengatakan, narsis merupakan perilaku. “Jadi perilaku di media sosial kan nomor satu kalau sudah dishare kan mereka pengen eksis. Kalau sudah eksis kan pengennya dikenal. Dikenal apanya? Kalau dia cakep ya dikenal wajahnya,  kalau dia pintar ya dikenal kepintarannya,” ujarnya kepada VIVA

“Apalagi media sosial itu basisnya foto kayak Instagram. Ya otomatis orang lebih banyak narsisnya. Lebih banyak foto selfie daripada foto yang lain,” ujarnya menambahkan.

Sorot Narsis - Selfie - Fotografer

Seorang wanita merekam saat pembuatan sebuah masakan oleh wanita lain. (REUTERS/Bobby Yip)

Menurut Nukman, di Instagram, orang lebih banyak membicarakan diri sendiri. “Siapa dia ,makan apa, wajahnya kayak apa, pakai baju apa. Merasa seolah dirinya itu aktif supaya orang tahu.  Tapi itu normal. Karena orang masuk dirinya di fase mau memperkenalkan dirinya itu siapa,” ujarnya.

Perilaku narsis itu, lanjut dia, biasanya dialami oleh orang-orang yang masih tahap memperkenalkan diri. Namun, setelah “matang”, perilaku tersebut seharusnya sudah tidak terjadi. Pasalnya, media sosial itu seharusnya menjadi tempat untuk berinteraksi, bukan sekadar tempat untuk memamerkan diri.

Hal senada disampaikan Devie. Menurut dia, penggunaan media sosial bukan hanya tentang kita, tapi tentang informasi apa yang dapat bermanfaat bagi orang lain. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya