SOROT 521

Berdamai dengan Bencana

Warga berada di dekat kapal TNI AL yang terdampar di jalanan akibat tsunami di Watusampu, Ulujadi, Palu, Sulawesi Tengah, 3 Oktober 2018.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Tado

VIVA – Gempa yang mengguncang Palu, Sigi dan Donggala pada Jumat, 28 September 2018 lalu tak akan bisa hilang begitu saja dari benak Ihsan Fadilah. Meski sekarang sudah berada di Jakarta, ia masih merasakan kengerian ketika berusaha melarikan istri, dua anaknya, dan ibu mereka agar bisa selamat dari gempa kuat yang menghempas tanah mereka.

BMKG Sebut Erupsi Gunung Ruang di Sulut Berpotensi Tsunami: Ada Catatan Sejarahnya

Sore itu, PNS yang bertugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu baru saja tiba di rumahnya di Perumahan Griya Cempaka Alam. Petobo, Palu.  Ia  tiba lima menit sebelum gempa dengan kekuatan 7,4 pada Skala Richter menggoyang keras rumahnya.

"Saya baru saja mau memeluk anak saya yang berusia tiga tahun, ketika tiba-tiba kami berlima terhempas bareng ke lantai. Kami bahkan tak mampu berdiri. Setelah guncangan berhenti, saya bawa keluarga keluar rumah. Tapi saya masuk lagi karena ingat kompor masih menyala. Saya lalu matikan api, dan lemparkan tabung gas. Dan segera lari lagi keluar rumah," ujarnya saat dihadirkan sebagai narasumber di Indonesia Lawyers Club, di tvOne, Selasa, 2 Oktober 2018.

Gunung Ruang Erupsi, Pemkab Sitaro Tetapkan Tanggap Darurat Selama 14 Hari

Tak lama gempa kembali terasa. "Di gempa kedua inilah saya mendengar suara keras. Awalnya saya kira tsunami. Tapi saya tak yakin karena jarak kami dengan laut yang ada Jembatan Kuning itu sekitar delapan kilometer. Dan karena kami berada di dataran tinggi, saya tak yakin tsunami akan sampai ke tempat kami. Tapi suara gemuruh itu keras sekali. Kami hanya saling melindungi dan berdoa. Ketika gempa mereda, kami tak berani masuk ke rumah. Malam itu saya dan banyak tetangga memilih berjaga di halaman rumah saya, karena halaman kami yang paling luas," ujar Ihsan melanjutkan.

Satu unit mobil tersangkut di rumah warga akibat gempa dan tsunami, di Desa Loli Saluran, Kecamatan Banawa, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu, 3 Oktober 2018.Dampak gempa bumi dan tsunami di Sulteng 

Badan Geologi: Potensi Tsunami Akibat Gunung Ruang Bisa Setinggi 25 Meter

Pagi harinya, Ihsan baru tersadar sejumlah rumah di belakang rumahnya sudah tersapu lumpur. Banyak rumah yang sudah tak berbentuk, bahkan terjungkir balik. Ia juga melihat sejumlah korban tewas. Ia menghubungkan aliran lumpur itulah yang pada malam itu mereka kira sebagai tsunami.  "Sekarang saya baru tahu istilahnya adalah likuifaksi," ujarnya.

Ihsan beruntung, ia bersama istri, kedua anak, dan ibunda mereka selamat. Setelah itu seharian ia berusaha mencari tahu kabar teman-teman sesama perantau dan mencari makanan untuk mereka. Ihsan juga mendapat informasi bahwa ada pesawat hercules yang bisa membawa ia dan keluarganya ke Jakarta. Dua hari setelah gempa, Ihsan dan keluarganya berangkat ke Jakarta.

Dari Jakarta, Ihsan baru bisa melihat dengan jelas, seperti apa dampak gempa, tsunami dan likuifaksi yang memporakporandakan Palu, Sigi, dan Donggala pada Jumat petang pekan lalu. Ihsan bersyukur ia dan keluarganya selamat. Ia meyakini, 80 persen rumah di Perumahan Griya Cempaka Alam tergulung lumpur. Entah bagaimana nasib tetangga sekitarnya.

Menurut Ihsan saat kejadian, ia sama sekali tak punya bayangan apa yang sedang terjadi. Apalagi bagi warga kota Palu, gempa adalah hal yang biasa. Siang itu, sebelum gempa kuat, ia juga merasakan dua kali guncangan gempa. Pertama saat usai salat Jumat, dan kedua sekitar jam tiga sore. Tapi ia tak merasa ada sesuatu yang aneh. Dan saat gempa yang menghempaskan ia sama sekali tak mendengar peringatan apapun. Ia hanya mengikuti nalurinya untuk menyelamatkan diri.

"Tak ada, tak ada peringatan apapun. Karena saya juga tak menonton televisi, maka saya juga tak tahu kalau ada peringatan tsunami," ujarnya.

DAMPAK LIKUIFAKSI TANAH DI PETOBO

Dampak likuifaksi di Petobo, Sulteng

Korban lainnya yang berhasil selamat adalah Firman Halide dan Bripka Arif Satya. Kedua laki-laki ini berada tak jauh dari pantai. Keduanya sedang menjalankan tugas masing-masing di persiapan acara besar "Festival Palu Nomoni." Sebuah acara festival seni dan budaya yang paling meriah di kota Palu. Sedianya acara tersebut akan diresmikan pada Jumat, 28 September 2018 pada pukul 19.00 waktu setempat. Menurut catatan Dinas Pariwisata Palu, acara Palu Nomoni akan diadakan pada 28-30 September 2018.

Festival Pesona Palu Nomoni  (FPPN) 2018 diselenggarakan Pemerintah Kota Palu dan didukung oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kementerian Pariwisata dengan tujuan mengungkap kembali kearifan budaya masa lalu yang sudah ratusan tahun tenggelam, kemudian dimunculkan kembali dibalut dengan kemasan atraksi seni pertunjukan yang mengangkat kembali nilai-nilai kebudayaan yang arif dan luhur.

Firman sempat tergulung ombak tsunami selama beberapa kali. Bahkan anak yang ia gendong akhirnya terlepas. Di tengah kekuatan ombak, ia terus berusaha menyelamatkan diri. Bripda Arif lebih beruntung. Ia tak sempat bertemu gulungan ombak. Gempa terjadi ketika ia hendak berwudhu. Bripda Arif sempat terjatuh, begitu pula orang-orang di sekitarnya. Ketika guncangan berhenti ia mendengar teriakan untuk menjauhi pantai. Ia lalu berlari, tanpa sempat kembali memakai sepatunya. Ia menuturkan, kakinya sempat luka dan berdarah, ia bahkan jatuh ke parit karena gempa masih tetap terasa. Namun ia berusaha terus berlari dan menjauh dari pantai.

Ia memastikan, saat kejadian, pantai sangat ramai karena menjelang upacara pembukaan festival. "Sangat banyak orang saat itu di pantai. Karena acara Festival Palu Nomoni berpusat di sekitar pantai. Sepertinya ada ratusan orang di pantai," ujarnya saat diwawancara oleh Karni Ilyas  dalam acara Indonesia Lawyers Club di tvOne. Dengan perjuangan berat, Firman dan Bripda Arif berhasil selamat.

Lemahnya Deteksi Dini

Dampak kerusakan akibat gempa dan tsunami di wilayah Palu dan Donggala luar biasa menghancurkan. Sehari setelah gempa dan tsunami, publik dihamparkan berbagai video amatir yang merekam detik-detik tsunami menyapu pantai Tallase, Palu. Bangunan yang hancur, jalanan yang terbelah, dan kendaraan yang jungkir balik menjadi saksi betapa derasnya hempasan ombak.

Hari berikutnya, video lain beredar. Kali ini seperti yang diceritakan oleh Ihsan, yaitu tentang tanah seperti lumpur yang bergulung dan melumat habis apa saja yang berada di atasnya. Likuifaksi, begitu nama yang akhirnya muncul. Ngeri, tanah bergerak begitu cepat dan menelan pepohonan, rumah, masjid, dan semua orang yang berada di atasnya.

Hari ini, 6 Oktober 2018 atau sepekan setelah gempa, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB merilis jumlah korban. Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkap, jumlah korban meninggal dunia gempa Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah sudah mencapai 1.571 orang. Mayoritas korban tewas ini ditemukan di Kota Teluk, Palu.

"Sebanyak 1.571 korban meninggal dunia. Rinciannya 144 di Donggala, 1.351 di Palu, 62 di Sigi, 12 di Moutoung, dan 1 orang di Pasang Kayu," kata Sutopo di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Jumat, 5 Oktober 2018. Jumlah korban diperkirakan masih bisa bertambah karena masih banyak yang dilaporkan hilang dan diperkirakan terkubur.

Warga mencari korban gempa dan tsunami yang tewas di RS Bhayangkara, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu, 30 September 2018.

Korban tewas gempa dan tsunami di Sulteng

Besarnya jumlah korban membuat tudingan langsung mengarah ke Badan Metereologi dan Geofisika atau BMKG. Sebab, lembaga ini sudah merilis informasi terjadinya gempa dengan magnitudo mencapai 7,7 pada Skala Richter dan berpotensi tsunami. Tapi, tak sampai 30 menit, BMKG mengakhiri peringatan tersebut. Kabarnya, hanya beberapa menit setelah BMKG mengakhiri informasi potensi tsunami, gelombang ganas itu dikabarkan menerjang Palu.

Dihentikannya peringatan dini tsunami dianggap membuat warga sekitar tak menyiapkan diri untuk evakuasi. Padahal pantai sedang sangat ramai karena sudah masuk waktu persiapan pembukaan Festival Palu Nonomi. BMKG dianggap gagal mencegah bencana.

Namun BMKG membantah. Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono membantah BMKG gagal. Menurutnya, BMKG sudah menjalankan tugas mereka dengan menyampaikan kabar bahwa gempa yang terjadi berpotensi tsunami. "BMKG sudah memberikan peringatan tsunami dan BMKG mengakhiri peringatan setelah tsunami berakhir. Dinyatakan gagal itu kalau sama sekali tidak mengeluarkan peringatan dini tsunami," ujar Daryono di kantor BMKG, pada Kamis, 4 Oktober 2018.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, keputusan mengakhiri peringatan dini tsunami pasca-gempa di Sulawesi Tengah yang dilakukan BMKG sudah tepat. Ia menjelaskan, pengakhiran peringatan dini tsunami berlangsung pukul 18.37 WITA atau pukul 17.37 WIB, di mana kabar pengakhiran peringatan dini tsunami di Palu tersebar di Jakarta.

Ia menambahkan, saat pengakhiran peringatan dini tsunami dilakukan, staf BMKG di Palu  mencatat ketinggian permukaan air di Pelabuhan Pantoloan sudah tinggal 30 cm. Jika tsunami masih terjadi setelah itu, harusnya staf BMKG yang mengukur ketinggian air bisa kembali tersapu tsunami.

"Nyatanya staf kami masih hidup sampai sekarang," ujarnya.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati Bicara Gempa Lombok

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati

Dwikorita menduga, gelombang tsunami tiba di Pantai Palu sekitar pukul 18.10 WITA, dan kemudian peringatan diakhiri sekitar pukul 18.37 WITA, sementara di Jakarta masih pukul 17.37 WIB. Artinya, saat peringatan dini diakhiri, tsunami sudah terjadi dan sudah selesai.

Tak hanya soal potensi tsunami yang dianggap terlalu cepat diakhiri oleh BMKG, hal lain yang dituding sebagai penyebab banyaknya jumlah korban adalah sistem peringatan dini atau early warning system yang dikabarkan gagal berfungsi, sehingga informasi akan terjadinya tsunami tak sampai ke publik. Kepala BMKG Dwikorita sempat mengatakan, bahwa alat peringatan dini tsunami di Palu rusak terdampak gempa. Akibatnya pihaknya baru bisa memastikan terjadi potensi tsunami melalui alat yang dipasang di Mamuju.

Kabar rusaknya sejumlah alat peringatan dini tsunami yang di berbagai wilayah di Indonesia juga tersebar. Dan itu juga yang dikabarkan terjadi di Palu dan Donggala. Tapi kabar itu tak terbukti. Sebuah media asal Jerman, Deustche Welle mengabarkan, sistem peringatan dini tsunami di Indonesia masih berfungsi dengan baik. Alat tersebut dirancang dan dibangun di Indonesia dengan bantuan Pusat Geologi dekat Berlin, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam.

Juru bicara GFZ Josef Zens menegaskan, sistem beserta piranti lunaknya berfungsi dengan baik. "Menurut informasi yang kami terima, softwarenya berfungsi dengan baik", kata Josef Zens kepada harian Berlin "Tagesspiegel" edisi 1 Oktober 2018.

Zens menjelaskan, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta mengeluarkan peringatan bahaya tsunami lima menit setelah terjadi gempa di Sulawesi Tengah. Simulasi komputer menyebutkan ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5 sampai 3 meter. 20 menit setelah gempa, gelombang besar itu mencapai daerah pesisir Sulawesi. Ia menduga, banyak warga yang tidak tahu akan terjadi tsunami karena "ada sesuatu yang tidak berfungsi dalam penyampaian informasi kepada masyarakat setempat."

Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami), Patra Rina Dewi juga mengatakan tak bisa langsung memvonis bahwa BMKG bersalah. Harus ada kajian, apakah SOP BMKG untuk menerbitkan Peringatan Dini 1 sampai Peringatan Dini 4 sudah dilakukan?" ujarnya.

Patra juga menyinggung soal sistem deteksi tsunami di Indonesia. Menurutnya, perlu diluruskan soal istilah ini. Sebab, dalam sistem peringatan dini, di dalamnya juga ada sumber daya manusia, prosedur, dan peralatan, termasuk alat deteksi tsunami.

Alat deteksi tsunami saat ini, masih sangat terbatas karena anggaran yang juga terbatas. Bahkan, yang sudah ada juga tidak mudah untuk pemeliharaannya karena kurang pahamnya masyarakat tentang pentingnya fungsi peralatan tersebut.  Contohnya Buoy yang ada di perairan Sumatera Barat, sudah tidak bersisa karena vandalism (dicuri), ataupun hanyut karena ada nelayan yang mengikatkan kapalnya ke buoy itu. Dengan alat yang terbatas maka tentu saja akurasi data menjadi terbatas juga.

Selain itu, early warning system di Indonesia saat ini masih banyak keterbatasan dan masih banyak yang harus dievaluasi untuk menyempurnakan sistem peringatan di Indonesia. Perlu diperhatikan juga, ujar Patra, jika BMKG memberikan info peringatan dini tsunami, bagaimana pemerintah daerah mendiseminasikan atau menyebarluaskan kepada masyarakat.

"Apakah benar pesan tersebut bisa sampai kepada pemerintah daerah sehingga kepala daerah bisa memutuskan perintah evakuasi atau tidak evakuasi, moda komunikasi yang bisa digunakan agar semua masyarakat terpapar informasi." 

Kearifan Lokal Penyelamat Bencana

Sebagai wilayah yang berada dalam jalur ring of fire atau cincin api, Indonesia adalah negeri yang akrab dengan bencana. Kasus tsunami bukan hanya terjadi di era kini. Tapi berabad lampau, tsunami juga pernah menerjang berbagai wilayah. "Yang saya ketahui dari paparan para ahli, tsunami pernah melanda Sumatera Barat pada tahun 1797 dan 1833, pernah melanda Aceh pada tahun 1861, dan pernah melanda Simeulue pada tahun 1907,” ujar Patra Rina Dewi.

“Dan juga tentang tsunami yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Dan ada juga tsunami Flores pada tahun 1992 dengan korban jiwa sampai 2000 orang. Tapi pada masa dahulu tak terekspose seperti sekarang, mungkin dikarenakan belum banyak media sosial dan juga keterbatasan alat komunikasi lainnya," ujarnya menambahkan.

Bicara bencana artinya juga bicara tentang mitigasi. Ketua Umum Masyarakat Peduli Bencana Indonesia atau MPBI Dandy Prasetya mengatakan, mitigasi di Indonesia bisa dikatakan sudah bagus. "Contohnya, setelah 2004 kita menerima pelajaran bencana besar, tidak lama dari itu keluar Undang-Undang No.24 tentang Kebencanaan tahun 2007. Kemudian tahun 2008 BNPB berdiri. Dari situ kemudian ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD yang wajib ada sampai tingkat kabupaten/kota," ujarnya.

Ia hanya menyayangkan proses mutasi Ketua BPBD yang menurutnya kerap tak menempatkan orang yang tepat. "Selayaknya, Ketua BPBD juga orang yang paham bencana dan paham wilayahnya. Sehingga proses penyelamatan jika terjadi bencana bisa lebih cepat," ujarnya.

Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia MPBI Tuan Dandi Prasetia

Ketua Umum MPBI Dandi Prasetia

Menurut Dandy, hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah konstruksi gedung-gedung dan rumah di Indonesia. "Saya pernah datang ke Nias, di sana ada sekolah yang tiang benderanya didirikan persis di depan pintu kelas. Itu kan berbahaya. Jika terjadi gempa, dan murid harus lari ke luar kelas dan berebut, mereka bisa membentur tiang," ujarnya.

Ia juga merujuk banyak bangunan yang struktur bangunannya tak mempertimbangkan bencana. Menurut Dandy, pemerintah punya peran besar untuk mengawasi konstruksi bangunan agar ketika terjadi bencana, bangunan tak malah menewaskan penghuninya.

Tapi Patra Rina Dewi memiliki sudut pandang yang berbeda dengan Dandy. Menurut Patra, di Indonesia, saat ini pengarusutamaan pengurangan risiko bencana belum menjadi prioritas utama. Dalam artian, proses pembentukan ide, gagasan dan nilai yang dapat diterima luas oleh masyarakat belum terbentuk semaksimal mungkin.

Minimnya mitigasi bencana, dan kurang sadarnya masyarakat yang tinggal di zona rawan kebencanaan, membuat angka kematian tinggi. Mengingat potensi kerawanan sangat tinggi, Komunitas Siaga Tsunami yang ia pimpin berharap mitigasi bencana dapat ditingkatkan.

Makanya, ujar Patra, dalam edukasi Kogami selalu menekankan kepada masyarakat agar menjadikan gempa sebagai peringatan dini dalam mengambil keputusan evakuasi. "Untuk di pesisir Sumatera Barat, kami edukasi bahwa jika gempa terasa lama (terus menerus 30 detik atau lebih) apalagi kuat, membuat limbung, maka segera evakuasi setelah gempa berhenti tanpa harus menunggu informasi dari manapun. Evakuasi menjauhi pantai sejauh 3 kilometer atau ke bangunan tinggi atau ke bukit dengan ketinggian lebih dari 12 meter," ujarnya.

Ia lalu mengingatkan tentang kearifan lokal tentang menghadapi bencana. "Ada sebagian daerah yang punya kearifan lokal seperti Smong di Pulau Simeuleu dan di daerah lain yang belum tergali dengan baik. Mungkin ada, tapi sampai saat ini saya belum mendapatkan informasi tentang daerah lain selain Simeulue. Ketika terjadi gempa di Aceh yang berujung tsunami, warga yang sudah sering didendangkan syair Smong," ujarnya.

Smong adalah tsunami dalam bahasa Semeulue. Cerita dahsyatnya Smong atau tsunami yang pernah menerjang Pulau Semeulue diceritakan secara turun temurun melalui syair yang dilantunkan menjelang tidur. Syair itu menuturkan bagaimana jika terjadi gempa besar, maka harus ada anak muda yang lari ke pantai. Mereka harus melihat bagaimana kondisi air. Jika air surut, maka itu pertanda Smong akan datang.

Lalu melalui teriakan berantai, semua pemuda akan menyampaikan Smong. Jika sudah demikian, maka dahulukan wanita, anak-anak, dan lansia untuk diajak berlari ke bukit yang tinggi. Smong terbukti efektif. Hanya tujuh orang dari 70.000 jiwa di Pulau Semeulue yang menjadi korban.

Puing Resor Macaroni di Mentawai yang disapu tsunami

Dampak tsunami di Mentawai

Kogami paham, bencana tak akan pernah beranjak dari negara yang memang sudah takdirnya berada dalam garis api ini. Tapi, mereka menolak mengabaikan. Ada tujuh poin yang mereka rekomendasikan dan akan selalu terus dipublikasikan. 

Pertama adalah melakukan kajian lebih mendalam mengenai potensi tsunami dan pemodelan penyebab terjadinya tsunami, prakiraan waktu kedatangan setelah gempa, ketinggian tsunami dan jauh landaan ke darat.  Pemodelan ini nantinya juga menjadi data bagi BMKG untuk melakukan pemodelan sehubungan dengan layanan peringatan dini tsunami.

Kedua adalah mengevaluasi dan menyempurnakan SOP BMKG itu sendiri. Ketiga adalah  menciptakan alat deteksi dini tsunami yang berbiaya murah dan pemeliharaannya juga murah. Hal keempat adalah mengevaluasi semua peralatan terkait peringatan dini tsunami mulai dari alat deteksi, alat penerima informasi di Pusdalops PB BPBD dan media interface dan juga alat diseminasi kepada masyarakat, memperbaiki ataupun melengkapinya.

Di poin kelima, kata Patra, adalah penting untuk melatih aparat dan masyarakat dalam merespon peringatan dini tsunami itu sendiri, termasuk melakukan uji SOP secara rutin. Keenam adalah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pengadaan dan pemeliharaan alat peringatan dini dan juga untuk sumber daya manusia yang berada dalam rantai peringatan dini seperti petugas BMKG yang piket ataupun petugas Pusdalops PB BPBD yang piket.

Dan poin terakhir yakni, menyediakan tempat evakuasi sementara bagi masyarakat berupa bangunan tinggi ataupun bukit buatan maupun bentuk lainnya. Jika masyarakat terdampak, maka disesuaikan dengan kebutuhan Daerah masing-masing.

Namun dari itu semua, Patra tetap meminta agar pengarusutamaan resiko bencana, mitigasi bencana, dan hal-hal terkait dengan antisipasi dan penanganan pasca kebencanaan haruslah menjadi prioritas utama Bangsa ini.

Indonesia menurutnya, merupakan salah satu Negara yang rentan terhadap bencana gempabumi dan tsunami. Maka dari itu, selain peralatan, model sistem peringatan dini. Edukasi kepada masyarakat harus lebih diperhatikan. Jika tidak, maka jumlah korban jiwa yang timbul akan tetap tinggi, bahkan terus meningkat. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya