Peringatan Tragedi 11 September

Inilah Hasil Tujuh Tahun Memerangi Teroris

VIVAnews. Mengheningkan cipta di pagi hari setiap tanggal 11 September telah menjadi ritual tahunan bagi penduduk kota New York, Amerika Serikat. Kepala tertunduk selama satu menit saat jam menunjukkan pukul 8.46 - tepat saat pesawat pertama yang dibajak gerombolan teroris menabrak menara utara World Trade Center.

PKB Sebut Suara Parpol AMIN Belum Cukup Loloskan Hak Angket, PDIP Ditunggu Sikapnya

Sejak tujuh tahun lalu tanggal 11 September telah menjadi tragedi atau kenangan yang pilu bagi keluarga dan kerabat dari hampir tiga ribu orang - termasuk penumpang pesawat yang jatuh di Pentagon dan pesawat United Airlines 93 di Pennsylvania. Mereka menjadi tumbal bagi para teroris nekad dalam mewujudkan misi menghabisi Amerika dan para kafir Barat dari muka bumi. Tragedi 11 September akhirnya menjadi trauma permanen.

Survei yang dilakukan lembaga riset Zogby tahun lalu mengungkapkan bahwa "11 September" telah menjadi tanggal yang traumatis bagi sebagian warga Amerika. 81 persen responden mengaku tanggal tersebut telah menjadi momen yang sangat bersejarah bagi hidup mereka. 61 persen responden mengaku rutin mengingat tragedi tersebut "seminggu sekali" dan 16 responden lain bahkan memikirkannya setiap hari. Tidak hanya di Amerika Serikat (AS), hampir setiap negara turut bermasalah dengan aksi para teroris.

Babak Baru Kasus Hoax Rekaman Forkopimda, Palti Hutabarat Diserahkan ke Kejaksaan

Maka sejak 11 September 2001 perang terbuka melawan terorisme akhirnya didengungkan, dimana AS menjadi panglima. Walaupun pelaku utama tragedi 11 September tersebut hanyalah suatu kelompok bernama al-Qaeda, dunia terlanjur meng-generalisasi aksi menumpas kelompok pimpinan Osama bin Laden tersebut dengan perang melawan teroris.

Bila Osama dan jaringan terorisme mampu menciptakan trauma bagi banyak orang, lalu apa yang telah dihasilkan AS dan sekutu-sekutunya dalam perang melawan teroris? Ratusan teroris al-Qaeda beserta simpatisan mereka memang ada yang telah dibasmi maupun ditangkap.
Frekuensi serangan teroris di mancanegara dari tahun ke tahun juga terus menurun. Namun tolok ukur keberhasilan perang melawan teroris masih sulit ditentukan karena masih saja terjadi satu-dua kasus kendati, untuk sementara ini, tidak lagi berlangsung di Negeri Paman Sam. Yang jelas, hasil utama dari perang tersebut adalah konflik yang seolah tak berujung.

Berita Man Utd: Erik ten Hag Akui Situasi Bermasalah hingga Kekhawatiran Wright Soal Kobbie Mainoo

Kendati perang sudah berlangsung tujuh tahun, sulit menjamin bila al-Qaeda telah berhasil diberantas. Walaupun banyak anggota jaringan mereka telah dibekuk dan intensitas operasi mereka berhasil diredam tidak bisa diartikan bahwa terorisme telah berhasil dikalahkan. Memerangi terorisme ternyata kian memperluas medan konflik, seperti yang terjadi di Irak dan perbatasan dekat Pakistan. Itu telah disadari para pejabat dan pimpinan militer AS.

"Generasi kita kini terlibat dalam suatu perang yang panjang dengan musuh," kata Presiden George W. Bush dalam pidato tahunan di Washington 2006. Sejak saat itu ungkapan "Perang yang Panjang" ramai-ramai menjadi kata favorit bagi Menteri Pertahanan (saat itu) Donald Rumsfeld dan para pimpinan militer AS.

Mereka sadar tidaklah mudah memerangi terorisme kendati telah mengerahkan berbagai kekuatan militer dan menjalin kerjasama multinasional di berbagai negara dalam beberapa tahun terakhir. Yang mengkhawatirkan, AS dan mitra multinasionalnya akan terus terjebak pada perang yang panjang.

Menurut mantan agen CIA, Michael Scheuer, perang panjang itulah yang tampaknya dikehendaki oleh jaringan teroris seperti al-Qaeda. "Dengan memanfaatkan kesabaran yang luar biasa, sambil memanfaatkan kelengahan musuh, al-Qaeda yakin dapat memenangkan perang panjang tersebut," demikian analisis Scheuer - yang telah 22 tahun menjadi operator lapangan CIA sebelum pensiun pada 2004 - seperti yang dimuat oleh Asia Times 31 Mei 2006.

Medan Perang Meluas
Afganistan adalah suatu patokan sederhana betapa perang melawan terorisme telah terbukti menjadi perang yang panjang dan sulit diukur tolok ukur keberhasilannya. AS dan pasukan multinasional yang digalangnya - tak lama setelah tragedi 11 September - memang berhasil menggulingkan milisi Taliban dari puncak kekuasaan di Afganistan.

Namun para jenderal dan komandan pasukan di lapangan sadar bahwa perang melawan teroris di Afganistan tidak sekadar memburu para anggota al-Qaeda maupun milisi Taliban yang melindung mereka. Kurangnya wibawa pemerintah maupun aparat hukum dan kondisi ekonomi yang carut marut membuat Afganistan menjadi sarang teroris.

Sampai kini negara tersebut masih saja berstatus sangat miskin yang nadi perekonomiannya bergantung pada bantuan internasional dan bercocok tanam opium (90 persen produksi heroin dunia berasal dari Afganistan). Lagipula Afganistan adalah wilayah yang sangat sulit dikelola.

Pemerintahan tidak berjalan efektif di sana karena tidak sampai menjangkau gunung-gunung dan padang-padang terpencil yang menjadi basis dan tempat perlindungan bagi Taliban dan al-Qaeda. Kewibawaan pemerintahan baru tidak ada artinya di wilayah-wilayah yang masih diperintah oleh tetua-tetua suku setempat.

Itulah sebabnya kehadiran pasukan AS dan NATO di sana masih belum berhasil menghilangkan pengaruh Taliban yang tetap begitu kuat di kalangan rakyat bawah dan pemerintahan lokal. Kendati tidak lagi menjabat kekuasaan resmi, Taliban masih menebar teror dan kewibawaan di kalangan rakyat pedesaan melalui penerapan syariah yang ketat.

Di wilayah-wilayah pegunungan yang terpencil, Taliban masih memiliki basis kekuatan dengan dukungan dana dan persenjataan dari al-Qaeda. Taliban pun masih setia melindungi Osama dan pimpinan al-Qaeda lainnya. Keberadaan dan nasib Osama pun masih menjadi misteri, apakah dia masih hidup atau telah tewas masih belum dapat dipastikan.

Fakta tersebut pada akhirnya menjadi kekuatan moral bagi anggota-anggota al-Qaeda dan jaringannya dalam melanjutkan misi mereka dengan membonceng ambisi politik Taliban yang memperluas basis dukungan hingga di Pakistan. Parahnya lagi, perang melawan terorisme juga diwarnai dengan agresi AS ke Irak dengan alasan yang mengada-ada.

Tadinya, untuk membuktikan Irak di bawah rezim Saddam Hussein memiliki senjata penghancur massal. Tak ada bukti, akhirnya dibuat tuduhan lain, mengenyahkan para teroris yang bercokol di Irak.

Perpecahan antara kelompok mayoritas Muslim Syiah dan Sunni pasca Saddam digulingkan akhirnya benar-benar menebar teror bagi siapapun di Irak. Belakangan diketahui bahwa memerangi terorisme di Irak bukanlah sesuatu yang diantisipasi oleh Washington.

Tentara Amerika tadinya hanya terfokus menggulingkan rezim Saddam Hussein sekaligus ingin menguasai pasokan minyak mentah yang melimpah di Irak. Namun situasi teror yang tengah terjadi di Irak membuat militer AS kelimpungan. Sangat rentan memulangkan tentaranya dari Irak di tengah pemerintahan baru pasca rezim Saddam yang masih lemah apalagi mengingat kampanye tersebut telah memakan anggaran puluhan miliar dolar.

Kampanye melawan terorisme memang suatu perang yang panjang bagi AS dan sekutu-sekutunya. Itu karena yang mereka hadapi adalah musuh yang tidak berbasis di suatu negara dan bukan institusi negara. Tentara AS dan NATO bisa saja sebanyak mungkin mengirim tentara ke Afganistan - yang diketahui menjadi basis para teroris al-Qaeda dan milisi Taliban yang membantu mereka. Namun jaringannya tersebar luas ke seluruh dunia.

Jaringan ini pun pada akhirnya memanfaatkan teknologi internet untuk menyebarkan propaganda dan ideologi mereka. Senjata internet inilah yang diakui oleh pihak keamanan dan militer AS sebagai sesuatu yang tidak mereka antisipasi sebelumnya. Seperti yang pernah diulas oleh kolumnis Craig Whitlock di harian Washington Post, penggunaan teknologi internet tersebut menandakan bahwa perang melawan terorisme tidak lagi melulu menggunakan senjata dan bom, namun telah menyebar menjadi "perang ide dan propaganda."

Pada fron-fron tersebut, suara dari al-Qaeda kian menebar pengaruh dalam beberapa tahun terakhir. Mengandalkan perkembangan teknologi sembari memanfaatkan kesalahan dari para lawannya, pimpinan inti al-Qaeda telah meningkatkan kegiatan propagandanya. Mereka mampu berkomunikasi secara konstan, aman, dan dilakukan dalam beberapa bahasa dengan para simpatisan maupun para rekrutan potensial di penjuru dunia.

Pelanggaran Hak Sipil
Lalu apa yang dirasakan warga dunia selama tujuh tahun "Perang Panjang Melawan Teroris?" Pemasungan hak-hak asasi manusia merupakan hal yang paling mencolok selama berlangsungnya operasi memberantas terorisme. Keterkaitan elemen-elemen tersebut dengan kampanye antiterorisme memang perlu pembuktian lebih lanjut.

Namun fakta menunjukkan tindakan-tindakan pencegahan dan operasi mengungkap keberadaan para teroris telah melanggar hak-hak asasi yang selama ini dinikmati warga sipil. Pemeriksaan ekstra ketat kepada setiap calon penumpang tidak hanya berlaku di bandar-bandar udara di Amerika, namun juga di hampir semua negara. Kegiatan bepergian ke luar negeri dan transaksi bisnis dan keuangan tidak seleluasa seperti masa lampau karena harus menjalani pemeriksaan yang ketat.

Di Amerika Serikat, penyadapan telepon atas warga sipil sudah menjadi hal yang lumrah.
Begitu pula dengan penyiksaan dan pelecehan para tersangka teroris di penjara-penjara CIA demi mendapat informasi penting. Bahkan Gedung Putih bersikap untuk tetap menahan selama mungkin para tersangka anggota al-Qaeda yang ditangkap hingga perang melawan teroris dinyatakan usai - dan itu bisa berarti penjara seumur hidup bagi mereka.

Bush, Rumsfeld maupun para pakar keamanan AS dan mancanegara mungkin saja benar. Perang melawan terorisme ternyata butuh suatu upaya panjang yang melelahkan. Beban berat yang disandang tidak hanya menjadi para tentara di medan laga maupun keluarga dan kerabat yang mereka tinggalkan, namun juga warga-warga tak bersalah dimanapun yang turut kena getahnya saat hak-hak dan kehidupan mereka dilanggar. Apakah Perang yang Panjang berarti kemenangan bagi teroris? Semoga saja tidak.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya