Teumeumeung di Salihara

Nasidroe aneuk di moe si at at
Lam jeut jeut saat... saat dua ngeon poma
Di tanyeong bak ma..... bak ma..., Ayah jinoe pat hai jinoe pat
Ulon rindu that rindu that keuneuk eu rupa...

Nyoe mantoeng hudep meupat alamat
Uloen jak seutoet… jak seutoet ‘oeh watee raya
Nyoe ka meuninggai....... meuninggai, Meupat keuh jeurat ee jeurat
Uloen jak siat... jak siat loen baca doa


(Aneuk Yatim - Rafly)

Ketika memasuki ruang remang itu, tak ada ruap aroma kopi Aceh atau kari kambing yang menantang selera. Menapaki jalan menuju ruang remang itu, tak ada penyambut tamu yang menawarkan timphan asoe kaya atau roti jala khas provinsi di ujung barat Indonesia. Walau demikian,para tetamu mengerti bahwa mereka sedang memasuki 'Aceh', memasuki 'deritanya yang nyaris tak menemukan jeda.'

Ruang remang itu tak lain aula Teater Salihara, Jalan Salihara 16, Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Dan 'ke-Aceh-an' yang terlalu kental di ruangan itu tercipta oleh vokal Rafly KANDE nan khas, yang berkolaborasi dengan Dwiki Dharmawan, dalam sebuah pertunjukan kontemplatif berjudul “Teumeumeung” di gedung pertunjukan anyar tersebut, Sabtu, 20 September 2008.

Kedua musisi tersebut membawakan sekitar lima lagu diselingi komposisi “Ilir-ilir” yang dimainkan solo oleh Dwiki Dharmawan. Rafly, yang 'ditemukan' Dwiki ketika sang pianis Jazz tersebut selesai shalat Ashar di sebuah kamp pengungsian di Aceh satu bulan setelah tsunami meluluhlantakkan provinsi itu mampu menembakkan suara melengkingnya yang khas ke telinga penonton. Cengkok-cengkoknya sambung-menyambung tanpa cela  memiuh perasaan penonton: mereka seakan menjadi tawanan Rafly dan Dwiki.

Situasi tersebut terlihat ketika Rafly meminta para penonton untuk bertepuk dan mengikuti senandungnya. Para penonton tak terlihat segan atau jengah: mereka mengikuti ritme yang diolah Rafly dengan vokal dan Dwiki dengan pianonya. Maka, malam itu bukan mereka berdua yang melakoni pertunjukan, namun juga penonton yang datang dari berbagai kalangan.

Spontanitas tersebut kiranya merupakan buah dari 'sekapur sirih' yang disampaikan Rafly. Ia berkata gejolak di Aceh, yang menemukan puncaknya pada masa pemerintahan Orde Baru, luluh seketika pada waktu tsunami terjadi. Di Salihara, Rafly ingin membagi situasi itu—irisan antara kedukaan dan kebahagiaan—bersama penonton dengan menjadikan mereka sebagai salah satu pengiring musiknya.

Selepas itu, suasana Teater Salihara kembali murung ketika Rafly menyanyikan “Aneuk Yatim”. Sebuah lagu yang menjadi sangat populer pasca tsunami Aceh. Lagu itu sesungguhnya tidak berkisah tentang tsunami. Hanya, ketenarannya pasca bencana tersebut membuat lagu “Aneuk Yatim” didekatkan pada peristiwa tsunami.

Bait-bait yang saya kutip di awal tulisan merupakan bagian dari lagu “Aneuk Yatim” yang kira-kira berarti demikian: Ada seorang anak kecil yang sering menangis/Setiap saat ia menangis ketika bersama ibunya/Ia bertanya kepada sang ibu dimana ayahnya berada/Ada kerinduan dan hasrat yang sangat untuk melihat rupa sang ayah/Kalau ayah masih hidup dimana dia berada/Aku ingin mencarinya jika kelak dewasa/Kalau ia meninggal dimana letak pusaranya/Agar aku dapat barang sejenak memanjatkan doa.

Teumeumeung
Sejak perkenalan keduanya satu bulan setelah tsunami menghantam Aceh, Rafly dan Dwiki Dharmawan semakin guyub melalui "teumeumeung" (istilah yang diberikan Rafly untuk suatu jam session). "Teumeumeung" kini menjadi pola komunikasi musikal antara Rafly, yang terus menjelajahi aneka corak musik vokal Aceh, dan Dwiki, yang selalu jatuh cinta pada style musik berinspirasi tradisi lokal yang dipadukan dengan jazz yang penuh spontanitas. Ketika malam pertunjukan di Salihara, Dwiki beberapa kali memukul-mukul tuts pianonya tanpa ampun. Bersama Ubiet (Nya Ina Raseuki), Dwiki pernah menjadi produser bagi album Rafly bersama Kande "Meukondroe" yang dirilis tahun 2007.

Tidaklah mengherankan jika malam itu mereka begitu intim, solid dan padu dalam membawakan lagu. Pada satu bagian, ketika Dwiki dan Rafly sedang berbincang dengan penonton, Rafly tiba-tiba bertepuk tangan dan memandangi Dwiki. Si pianis merasa itu merupakan sinyal baginya untuk 'menandingi'. Kemudian ia berjalan ke arah piano dan, alih-alih mengetuk-ngetukkan jarinya di tuts piano, memukuli kawat-kawat nada yang ada di tubuh piano.

Mutia Ayu Cerita Kedekatan Sang Putri dengan Marthino Lio Pemeran Glenn Fredly

Rafly 'menggila'. Ia menyebut-nyebut “rabbana, rabbana” sambil mengeluarkan lengkingan khasnya. Dwiki menyambutnya dengan menghentakkan jari semakin intens ke atas kawat. Rafly membalas dengan nada-nada ritmis bercengkok; Dwiki meladeni dengan tarian jarinya yang cekatan, yang kini telah ada di atas tuts piano. Kemudian keduanya luruh dalam improvisasi-improvisasi ajaib yang menjadi ciri khas jazz. Mengantar penonton malam itu ke kekayaan khazanah musik Indonesia, sesungguhnya.

Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) perdana kunjungan ke IKN

Jokowi Minta AHY Selesaikan 2.086 Hektar Lahan Bermasalah di IKN Tanpa Ada Korban

enteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkap 2.086 hektar tanah di Ibu Kota Nusantara (IKN) masih bermasalah. Lahan itu, kata dia, masih ditempati oleh masya

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024