Renne Kawilarang

Menyorot Kasus Susu Beracun di China

VIVAnews. Bulan Agustus lalu media massa internasional, termasuk dari negara-negara Barat, ramai-ramai mengagumi pencapaian China sebagai kekuatan ekonomi baru yang sukses menggelar pesta olahraga Olimpiade terbesar sepanjang sejarah. Khusus selama satu bulan, berbagai kabar dan analisis di media cetak dan elektronik tampak berlomba-lomba menyorot kehebatan China membangun stadion dan infrastruktur penunjang yang megah demi suksesnya penyelenggaraan Olimpiade. Puja-puji media massa tersebut praktis menenggelamkan berita-berita sinis tentang China yang sebelumnya rutin dipergunjingkan – baik itu pelanggaran hak asasi manusia, bencana alam, dan isu berbahayanya produk makanan “Made in China.”

Sayangnya, isu terakhir tersebut kembali mengemuka seiring dengan redupnya kabar puja-puji atas China sebagai tuan rumah Olimpiade. China lagi-lagi dipandang sebagai “kekuatan ekonomi baru yang dashyat dengan masalah yang dahsyat pula.” Kali ini korbannya anak-anak yang berusia antara satu hingga lima tahun. Pekan kedua September 2008,  lebih dari enam ribu anak-anak tergolek diberitakan tak berdaya setelah minum susu formula yang dicampur dengan bahan pembuat plastik, bahkan sudah ada yang meninggal.

Adalah hal yang mengejutkan saat mengetahui bahwa pemerintah China secara terbuka mengakui adanya kasus susu beracun. Namun hingga kini belum ada penjelasan resmi mengapa pemerintah baru mengungkapkan kasus tersebut saat korban sakit terus bertambah sejak Maret lalu. Lebih mengenaskan lagi, produk susu yang bermasalah tersebut ternyata ada yang diekspor ke luar negeri. Negara-negara tujuan ekspor yang baru terdeteksi adalah Myanmar, Gabon, Banglades, Burundi dan Yaman. Maka, kasus produk susu beracun di China bisa jadi akan berkembang sebagai isu utama internasional dalam beberapa pekan ke depan.

Yang jelas kasus susu beracun menegaskan anggapan bahwa  pencapaian China sebagai kekuatan ekonomi baru dengan bangunan-bangunan megahnya ternyata belum diimbangi dengan kompetisi bisnis yang sehat. Dogma yang dikumandangkan mendiang Bapak Reformasi Ekonomi Deng Xiaoping – “…Tidak peduli itu kucing hitam atau kucing putih, kalau bisa menangkap tikus, ia kucing yang baik” -  masih diartikan sebagai pengejaran keuntungan sebesar-besarnya hingga mengabaikan nasib orang lain.

Pemahaman sesat atas dogma Deng itu terlihat pada kelakuan para produsen susu yang seenaknya menggunakan bahan pembuat plastik melamin untuk meningkatkan kandungan protein pada susu produk mereka. Produsen tidak peduli bila tindakan mereka tersebut justru merusak ginjal konsumen, yang tak lain adalah anak-anak bayi. Pemerintah China kini berusaha keras agar kasus susu beracun tidak bertambah buruk hingga kembali merusak citra produk buatan Negeri Tirai Bambu tersebut. Berbagai inspeksi dan penangkapan pun telah dilakukan pihak berwenang.

Namun China adalah negeri yang begitu luas dengan penduduk berjumlah miliaran jiwa. “Kita tidak bisa mengawasi seluruh peredaran makanan,” kata Yanzhong Huang, pakar kesehatan dari Universitas Seton Hall, Amerika Serikat, seperti dikuti surat kabar “The Christian Science Monitor,” 17 September 2008. Menurut Huang, kunci mengatasi masalah tersebut lebih banyak mengandalkan perubahan dalam norma-norma sosial di kalangan masyarakat maupun pebisnis China. “Masyarakat harus menyadari bahwa etika [berbisnis] sangat penting,” kata Huang.

Dengan kata lain, kasus susu atau produk makanan yang bermutu rendah sangat sulit diberantas bila pemerintah China hanya mengandalkan razia atau hukuman bagi pelaku.  Pemerintah China juga harus mengimbangi tindakan tegas tersebut dengan upaya mendidik masyarakat agar berbisnis secara sehat dengan tidak membahayakan nyawa konsumen. Di kalangan produsen juga perlu ditanamkan logika bahwa mereka bisa saja lolos dari kejaran aparat hukum, namun produk-produk mereka yang hasilkan bermutu rendah, apalagi beracun, tidak akan pernah dibeli lagi oleh konsumen.

Kasus Uang Tutup Mulut Donald Trump Seret Nama Karen McDougal, Siapa Dia?
Anthony Sinisuka Ginting melawan Viktor Axelsen di Thomas Cup

Sejarah Tercipta Thomas Cup dan Uber Cup, Sempat Tertunda Gegara Perang Dunia II

Thomas Cup dan Uber Cup merupakan salah satu kompetisi bulutangkis bergengsi di dunia dengan menggunakan sistem beregu putra dan putri.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024