Dunia Usaha di Tengah Krisis

Melaju Meniti Badai

VIVAnews - PADA dini hari yang kelam, Senin, 15 September 2008, Lehman Brothers mengumumkan kebangkrutannya. Perusahaan investasi raksasa di Amerika Serikat berusia 158 tahun itu akhirnya ambruk terjerat krisis kredit perumahan atau subprime-mortgage.

Pakar Ungkap Pria Harus 21 Kali Ejakulasi dalam Sebulan, Kenapa?

Sejak saat itulah, dampak krisis kredit macet perumahan di Amerika yang sudah berlangsung sejak Juni 2007, muncul bentuknya dengan nyata. Industri keuangan Amerika yang sebelumnya tampak adem ayem mulai dilanda kepanikan.

Keputusan pemerintah Amerika membiarkan Lehman Brothers kolaps akhirnya meruntuhkan kepercayaan investor di seluruh dunia. Ketika dibuka pada Senin pagi hari, bursa Wall Street terhentak dan langsung jeblok. “Black Monday” pun menyergap dan seketika langsung merembet ke seluruh bursa di dunia. Pasar modal Australia, Asia dan Eropa pun berjatuhan.

Selanjutnya, rekor demi rekor kejatuhan bursa Wall Street silih berganti  menghiasi papan layar saham. Satu per satu, perusahaan raksasa keuangan Amerika bertumbangan, tak terkecuali Citigroup, yang akhirnya harus di bailout oleh negara adi daya tersebut. Awan kelabu pun mulai mengurung ekonomi Amerika Serikat.

Chicco Jerikho Didiagnosis Sepsis Hingga Dirawat di HCU dan Pakai Alat Pacu Jantung

*

Imbas subprime mortgage sesungguhnya mulai terlihat sejak awal 2008. Kerontokan industri keuangan membuat ekonomi AS semakin suram. Likuiditas sontak mengering dan sektor riil pun macet. Buntutnya terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan penurunan daya beli.

Jokowi Bertemu Tim Cook Hari Ini, Menperin: Ada Kebijakan yang Kita Keluarkan untuk Apple

Data menunjukkan penjualan eceran turun tajam hingga minus 1 persen pada September. Pertumbuhan ekonomi AS merosot dari triwulan pertama sebesar 2,5 persen menjadi 1,2 persen pada triwulan ketiga.

Kelamnya ekonomi AS kemudian merembet ke Eropa dan belahan dunia lainnya. Permintaan impor dari negara berkembang terganggu. Indonesia, sebagai salah satu negara eksportir terkena getahnya. Produk-produk seperti tekstil, garmen, alas kaki, sepatu, kertas, kulit, kayu dan furnitur tak laku. Sektor-sektor berbasis komoditas, seperti minyak sawit dan batu bara juga anjlok. 

“Banyak pesanan impor dari AS yang dibatalkan,” kata Menteri Perindustrian, Fahmi Idris kepada VIVAnews di Jakarta, Jumat, 12 Desember 2008.

Padahal,  dari total produk tekstil Indonesia, sekitar 75 persen diekspor, dengan pangsa terbesar ke Amerika (40 persen) dan Eropa 20 persen. Alas kaki sebanyak 50 persen diekspor ke Eropa dan 20 persen ke Amerika.

Maka, tak mengherankan jika sejumlah industri berbasis ekspor Indonesia terpuruk. Produksi barang-barang manufaktur terpangkas drastis. Pabrik manufaktur berjatuhan. PHK ribuan karyawan bukan lagi sekedar ancaman, tetapi sudah menjadi kenyataan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) merekam fenomena buruk tersebut. Pertumbuhan industri tekstil sudah minus 7,9 persen pada Agustus dan minus 6,9 persen pada September. Produk kayu turun minus 2,5 persen pada Agustus dan minus 8,5 persen pada September. Begitupun dengan barang-barang komoditas seperti batu bara, logam dan barang tambang lainnya.

“Pokoknya produk-produk berorientasi ekspor dan menggunakan banyak bahan baku impor telah berjatuhan,” kata Kepala BPS, Rusman Heriawan.

Produk seperti baja yang mengandalkan bahan baku impor termasuk yang rontok. 

*

Namun dibalik cerita kelam itu, ternyata masih banyak industri lain yang menunjukkan kinerja kinclong. Mereka justru melaju, setidaknya bertahan dihantam badai krisis. Menurut Kepala Ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, industri tersebut umumnya berbasis pada bahan baku lokal, tak banyak memakai valuta asing, serta berorientasi pasar domestik.

Sinyalemen Anton dikuatkan oleh data BPS yang menyebutkan sejumlah industri cukup tangguh menghadapi amukan krisis ekonomi global. Beberapa subsektor industri itu tetap tumbuh melesat hingga menjadi katup penyelamat pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tetap bisa tembus 6 persen. Mereka adalah industri makanan dan minuman, rokok, consumer goods, telekomunikasi, semen, dan sepeda motor.

Pada saat ekonomi memasuki masa suram industri tersebut tetap tumbuh positif pada triwulan ketiga. Bahkan, beberapa di antaranya melaju cukup tinggi, seperti telekomunikasi tumbuh 15,2 persen, makanan dan minuman 10,4 persen, rokok 9,1 persen, dan sepeda motor 8,9 persen. 

“Barang-barang konsumsi biasanya akan tetap laku di masa krisis,” ujar ekonom Universitas Gajah Mada, Tony Prasetiantono di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2008.

Menurut dia, produk seperti makanan, consumer goods, rokok akan tetap dibeli oleh masyarakat karena mereka selalu membutuhkannya. “Perokok tetap saja akan merokok meski kantong kempis.”

Apalagi, bagi Indonesia di mana faktor konsumsi rumah tangga menjadi sumber terpenting bagi penyokong pertumbuhan ekonomi. Data BPS menunjukkan peran konsumsi terhadap produk domestik bruto (PDB) memang sangat signifikan. Dari total PDB Rp 1.340 triliun pada triwulan tiga, sekitar Rp 777 triliun atau separoh lebih disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Lantas, bagaimana dengan industri telekomunikasi, semen dan sepeda motor?

Menurut Tony, pulsa ponsel kini sudah tidak ada bedanya dengan makanan. Sudah menjadi kebutuhan pokok, bahkan mendesak. Tak aneh, jika pembantu rumah tangga pun tak mau ketinggalan zaman. “Mereka sudah biasa bergaya dengan ponsel kemana-mana.”

Industri tersebut, kata Kepala BPS Rusman, memang tergolong padat modal. Namun, dia mengingatkan, efek domino dari bisnis ponsel telah semakin menyebar dan membuka lapangan kerja yang besar. Tengok saja, ribuan hingga puluhan ribu pedagang pulsa seluler kini sudah menyebar hingga ke pelosok Tanah Air.

Kepala BPS tentu tak berkelakar. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi per Agustus 2008, total pelanggan telepon seluler sudah mencapai 106 juta pelanggan. Walau jumlahnya hampir separuh penduduk Indonesia, toh  potensi pertumbuhannya masih besar.

Karena itu, belum muncul cerita suram dari pebisnis pada industri telekomunikasi, kecuali yang merugi karena kalah bersaing. Rencana PHK juga tak terdengar. “Tidak ada pengurangan di tempat kami, yang ada malah penambahan karyawan karena kami sedang tahap pengembangan,” kata Rakhmat Junaidi, Direktur PT Bakrie Telecom.

Rakhmat juga tak cemas meski ada serangan krisis global. Sampai saat ini penjualan kartu pulsa tetap stabil, bahkan jumlah pelanggan meningkat signifikan. Ia pun berkeyakinan target 7,5 juta pelanggan tahun ini bakal tercapai.

Dia mengingatkan justru di saat krisis, masyarakat malah lebih memilih memakai fasilitas telepon daripada harus pergi ke tempat-tempat yang jauh. “Telepon lebih murah ketimbang bepergian.”

Rakhmat tak memungkiri pelemahan nilai tukar rupiah sedikit berdampak terhadap biaya perusahaan karena investasi infrastruktur dalam bentuk dolar. Meski begitu, kata dia, manajemen masih bisa mengelolanya, misalnya dengan cara menekan biaya-biaya tak penting. “Kami tetap hati-hati dan selektif dalam soal ini.”

Cerita serupa juga terjadi di industri semen. Kendati dibayangi krisis, penjualan semen tetap melonjak, kapasitas produksi pabrik beroperasi penuh 100 persen, tidak ada pengurangan jam kerja, apalagi cerita soal PHK.

Para produsen semen sungguh diuntungkan oleh bahan baku lokal, serta orientasi pasar domestik yang besar. Bayangkan, dari total produksi semen 37 juta ton per tahun, sebanyak 35 juta ton diserap pasar dalam negeri.  “Kami tenang karena berbahan baku lokal dan tak banyak pakai dolar,” kata Direktur Utama Semen Gresik, Dwi Soetjipto.

Apalagi, dia melanjutkan, Semen Gresik ditopang oleh kondisi keuangan yang kuat serta efisiensi lewat kerja sama dengan perusahaan semen satu grup, yakni Semen Tonasa dan Semen Padang. Tak mengherankan jika euntungan Semen Gresik juga melonjak tajam  menjadi Rp 1,7 triliun atau naik 40 persen

Produsen semen yang lain, PT Holcim Indonesia misalnya, juga meraup untung besar. Labanya melejit hingga 250 persen per September ini dibandingkan tahun lalu. 

Di saat bisnis lain bertumbangan, mereka, seperti Semen Gresik, malah menggodok proyek-proyek baru. BUMN ini juga sibuk merekrut para karyawan baru untuk menunjang ekspansi pabrik. “Masa krisis justru peluang bagi kami membangun pabrik baru,” ujar Dwi. “Nanti, setelah tiga tahun, saat krisis berakhir, produksi pabrik baru sudah bisa masuk pasar.”

Akan halnya sepeda motor. Menurut Menteri Perindustrian, sepeda motor tetap bisa bertahan dari krisis karena sebagian besar atau 97 persen komponennya berasal dari produk lokal sehingga tidak terkena gejolak kurs rupiah. Bahkan, beberapa produsen, seperti Yamaha dan Bajaj sedang melakukan ekspansi. "Tiga minggu lalu, saya meresmikan pabrik baru Yamaha." 

Kelebihan lain, menurut Direktur Statistik Industri BPS, Mudjiandoko, sepeda motor mudah didapat. “Dengan duit Rp 200-300 ribu, orang sudah bisa beli motor,” kata Mudji. Saat ini total pasar sepeda motor rata-rata mencapai 6 juta unit per tahun.

Melihat gambaran tersebut, sejumlah industri memang memang tampak tahan banting. Namun banyak kalangan mengingatkan krisis belum berakhir. Sedalam apa krisis global akan berlanjut juga belum ada yang mengetahui secara persis.


Untuk mengantisipasinya, Kepala BPS dan sejumlah ekonom memperingatkan pemerintah agar mengambil langkah-langkah  memperluas pasar dan mengamankan industri dalam negeri, serta mendongkrak daya beli masyarakat.

Caranya ada beberapa. Pertama, Bank Indonesia tetap menurunkan suku bunga. Kedua, pemerintah perlu menurunkan harga bahan bakar minyak agar daya beli meningkat. Ketiga, membatasi serbuan produk konsumsi impor, khususnya dari Cina. Keempat, mendorong agar masyarakat Indonesia memakai produk dalam negeri. “Toh ini semua demi kepentingan ekonomi kita sendiri,” kata Rusman.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya