Kasus Bensin Tanpa Timbal

Kasus HOMC Ditangani Satuan Khusus

VIVAnews - Kejaksaan Agung menyelidiki kasus impor bahan baku untuk membuat bensin tanpa timbal atau high octane mogas component (HOMC). Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Marwan Effendi mengatakan kasus tersebut akan ditangani oleh satuan khusus.

"Kasus ditangani satuan khusus terkait barang dan jasa," katanya kepada VIVAnews, Kamis 11 Desember 2008. Satuan khusus pengadaan barang dan jasa kejaksaan, katanya, ada dua tim. Namun, Marwan mengaku lupa tim mana yang akan menangani kasus yang diduga merugikan Pertamina itu.

"Ada dua tim, kalau bukan jaksa M Kohar, ditangani tim jaksa Pohan Lazphi," tambah mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kejaksaan itu.

Sebelumnya Marwan mengatakan kejaksaan sudah beberapa kali memanggil beberapa manajer Pertamina untuk dimintai keterangan. Namun, dia mengaku tak tahu apakah kejaksaan telah meminta keterangan Direktur Utama Pertamina, Arie Soemarno. "Saya tidak tahu apakah Direktur sudah diperiksa atau belum. Kalau memang ada pemeriksaan, ada surat tembusan ke saya," katanya.

Dia menegaskan kasus pengadaan bahan baku bensin tanpa timbal masih dalam proses penyelidikan. "Belum bisalah saya ceritakan," tambahnya.

Proyek HOMC  diduga merugikan Pertamina karena harus mengimpor HOMC dengan harga mahal. Akibatnya terjadi penurunan net margin pengolahan Pertamina dari US$ 3,08 per barel crude (pada 2005) menjadi US$ 0,16 per barel crude (prognosa Desember 2006) atau kerugian sekitar US$ 2,92 per barel crude.

Angka tersebut jika dikalikan dengan pengolahan crude pada 2006 sebesar 340.262.733 barel crude, maka kerugian yang diderita Pertamina sekitar US$ 993,6 juta atau sekitar Rp 9,2 triliun.

Menurut data yang diperoleh VIVAnews, impor yang sama juga terjadi pada 2005. Impor HOMC melonjak dari 6 juta barel menjadi 10 juta barel. Dengan harga rata-rata US$ 61,1 per barel pada 2005,  maka Pertamina pada tahun itu merugi US$ 308 juta. “Jika ditambah dengan kerugian 2006 maka totalnya menjadi US$ 1,302 miliar atau setara Rp 12,1 triliun,” ujar sumber VIVAnews beberapa waktu lalu.

Duit itu bisa digunakan untuk membangun 6 kilang yang memproduksi bensin tanpa timbal. “Sebab biaya pembuatan satu kilang US$ 230 juta. Jika ini yang dilakukan maka Pertamina tak perlu mengimpor HOMC lagi," kata seorang karyawan Pertamina.

Kasus ini bermula saat pemerintah pada 1999 berniat mengurangi penggunaan timbal (tetra ethyl lead/TEL) dalam memproduksi bensin bersubsidi. Namun, proses pembuatan bensin non-timbal berbiaya tinggi, karena Pertamina harus mengganti timbal dengan HOMC yang harganya jauh lebih mahal.

Hal inilah yang membuat Menteri Keuangan Boediono (sekarang Gubernur Bank Indonesia) pada 2003 tidak bersedia menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Surat ini, isinya mewajibkan bensin yang diproduksi Pertamina tidak mengandung timbal.

Pada Januari 2005 Direktur Jenderal Migas Departemen Energi Iin Arifin Takyan dalam suratnya kepada Direktur Utama Pertamina pada prinsipnya juga menegaskan penyediaan bensin tanpa timbal hanya bisa dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan.

Satu bulan kemudian, direksi Pertamina menyurati Menteri Negara BUMN meminta persetujuan proyek bensin tanpa timbal. Namun, hingga Juni 2005—ketika Pertamina mulai mengganti timbal dengan HOMC dalam proses produksi bensin bersubsidi di kilang Cilacap-Departemen Keuangan dan kementerian BUMN belum memberikan persetujuan tertulis.

Chandrika Chika Terjerat Kasus Narkoba, Terkena Kutukan Podcast Deddy Corbuzier?
Dr. BRA. Mooryati Soedibyo

Terpopuler: Beda Sikap Ria Ricis-Teuku Ryan Perlakukan Orang Tua, Mooryati Soedibyo Meninggal Dunia

Berikut deretan 4 rangkuman artikel terpopuler kanal Showbiz VIVA.co.id dalam Round Up sepanjang edisi Rabu 24 April 2024.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024