Joseph Stiglitz

Menanti "Bretton Woods" Baru

Ekonomi dunia kini tengah tenggelam, dan bisa jadi yang terparah sejak era "Depresi Besar" dekade 1930-an. Namun, ini adalah krisis "buatan Amerika Serikat."

Kemenhub Pastikan Mudik 2024 Lancar, Intip Daerah Tujuan Terbanyak hingga Angkutan Terfavorit

AS-lah yang mengekspor hipotek-hipotek beracun, dalam bentuk sekuritas aset, ke penjuru dunia. AS jugalah yang mengekspor falsafah pasar-bebas yang menjunjung tinggi deregulasi.

Kini, salah satu pendukung falsafah tersebut, Alan Greenspan (mantan Gubernur Bank Sentral AS) mengakui apa yang telah diekspor Amerika itu adalah salah. AS ternyata selama ini juga menyebarkan budaya korporasi yang tidak bertanggungjawab.

Salah satu elemen dari budaya itu adalah diperkenalkannya opsi-opsi saham yang tidak transparan, yang mendorong praktek pembukuan yang buruk yang turut  berperan menyebabkan bencana saat ini. Krisis yang serupa, namun tidak meluas, juga terjadi di Amerika beberapa tahun lalu saat Enron dan Worldcom jatuh bangkrut. Kini, krisis ekonomi yang diderita Amerika menular ke mancanegara.
     
Pemerintahan George W. Bush pada akhirnya melakukan apa yang menjadi desakan para ekonom: menyuntikkan bantuan dana ke sektor perbankan. Namun, seperti biasa, masalah muncul di bagian-bagian yang rinci.

Paket bantuan suntikan dana yang diperjuangkan Menteri Keuangan Henry Paulson ternyata belum bisa memulihkan aktivitas pinjam-meminjam. Ekonomi pun akhirnya terus terjerat krisis. Syarat-syarat yang disusun Paulson dan timnya bagi pihak perbankan demi mendapat dana pinjaman ternyata lebih buruk dari yang diterapkan pemerintah Inggris kepada bank di negaranya.

Satu penjelasan penting mengapa uang para pembayar pajak Amerika sampai dikorbankan untuk menalangi sektor perbankan adalah karena AS belakangan ini sudah terjerat utang yang begitu besar. Utang nasional AS diperkirakan membengkak, dari US$5,7 triliun pada 2001 menjadi lebih dari US$8 triliun pada tahun ini. 

Selain itu, defisit anggaran tahun ini bakal mendekati setengah triliun dolar, dan tahun depan angka defisit bisa jadi lebih besar, sejalan dengan terus menurunnya pertumbuhan ekonomi AS. Amerika perlu paket stimulus yang besar, namun kalangan konservatif fiskal di Wall Street (ya, mereka yang membawa kita kepada krisis ini) akan menyebut kondisi sekarang cuma "defisit biasa" (mengingatkan kita kepada pernyataan Menteri Keuangan Andrew Mellon di zaman Resesi Besar).   

Seperti telah diprediksi, krisis telah menyebar ke negara-negara berkembang dan miskin. Yang luar biasa, AS, di tengah segala masalahnya, masih dipandang sebagai tempat yang teraman untuk menyimpan uang. Tak heran, mengingat jaminan dari pemerintah AS masih lebih dipercaya ketimbang jaminan dari pemerintah asal negara dunia ketiga. 

Maka, negara-negara berkembang turut terkena getahnya di saat Amerika tengah mengeruk tabungan warga dunia untuk mengatasi masalah-masalahnya dan saat pendapatan, perdagangan, dan harga komoditi di seluruh dunia sedang jatuh. Negara-negara yang sebelum krisis sudah menderita defisit anggaran yang besar dan sudah terlilit utang yang banyak dan menggantungkan hubungan dagang dengan AS, bakal lebih menderita dari yang lain.

Situasi sebaliknya menimpa negara-negara yang tidak sepenuhnya meliberalisasikan modal dan pasar keuangan mereka, seperti Cina. Mereka justru akan bersyukur tidak sampai mengikuti dogma liberalisasi yang selama ini didengungkan Paulson dan Departemen Keuangan AS.

Kini, sudah banyak negara yang meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Masalahnya, IMF bisa jadi kembali menerapkan resep lama yang terbukti gagal diterapkan di negara-negara pemohon, yaitu melakukan pengetatan kebijakan fiskal dan moneter - yang justru semakin meningkatkan ketimpangan global. Saat negara-negara maju terlibat dalam kebijakan-kebijakan stabilisasi, negara berkembang akan dipaksa menerapkan kebijakan yang justru mengarah kepada ketidakstabilan dan sulit mendapatkan dana yang sangat mereka perlukan.

Sepuluh tahun lampau, saat Asia diguncang krisis keuangan, ada wacana perlunya mereformasi sistem keuangan global. Namun sedikit sekali harapan itu terwujud.

Saat itu, banyak yang menduga bahwa harapan-harapan yang muluk sengaja dimunculkan untuk mencegah berlangsungnya reformasi yang nyata. Ada pihak-pihak yang sudah nyaman dengan sistem lama sehingga yakin bahwa krisis dapat dilewati. Oleh karena itu mereka pun keberatan bila sistem tersebut direformasi. Kita tidak ingin sikap itu terulang kembali.  

Bisa jadi, kita sedang menuju kepada era baru "Bretton Woods." Institusi-institusi mapan memang telah menyadari akan perlunya reformasi, namun prosesnya sangat lambat. Mereka justru tidak melakukan apa-apa dalam mencegah krisis yang muncul saat ini. Oleh karena itu muncul keraguan apakah institusi-institusi yang ada saat ini masih efektif dalam menghadapi krisis yang tengah melanda.

Dulu, perlu waktu 15 tahun dan satu periode Perang Dunia untuk menyatukan negara-negara di dunia dalam menghadapi sistem keuangan global yang menjadi penyebab era Depresi Besar. Namun, kita tentunya tidak perlu mengalami penantian yang serupa dalam mengatasi krisis, mengingat negara-negara di dunia sudah saling mengandalkan satu dengan yang lain.   

AS dan Inggris masih mendominasi sistem Bretton Woods yang lama, namun konstelasi dunia kini telah berubah. Demikian juga institusi-institusi ciptaan Bretton Woods lama (seperti Bank Dunia dan IMF) yang dulu dibentuk oleh doktrin-doktrin ekonomi yang terbukti gagal diterapkan, tidak saja di negara-negara berkembang namun juga di jantung kapitalisme. Maka pertemuan G-20 yang telah berlangsung 14-15 November 2008 harus menghadapi kenyataan-kenyataan baru bila ingin bekerja secara efektif dalam menciptakan sistem keuangan global yang lebih stabil dan berkeadilan.

5 Minuman Alami Bantu Atasi Radang Tenggorokan Selama Puasa


Joseph Stiglitz adalah pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2001 dan kini profesor ilmu ekonomi di Universitas Columbia, Amerika Serikat. Tulisan ini diambil dari situs Project Syndicate

Copyright: Project Syndicate, 2008. www.project-syndicate.org

Menginspirasi Generasi Baru, Fashion Crafty Jakarta Hadirkan Kolaborasi Fashion Photos Project 5
Ilustrasi perkelahian dan pengeroyokan.

4 Pria Terkapar Babak Belur di Depan Polres Jakpus, 14 Anggota TNI Diperiksa

Para anggota TNI itu diduga tak terima Prada Lukman dikeroyok preman di Pasar Cikini, Rabu, 27 Maret 2024. Prada Lukman membela ayah rekannya yang dipalak kawanan preman.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024