Copa America 2015: Sejarah Chile & Ironi Argentina

Pemain Argentina, Lionel Messi, saat lawan Chile
Sumber :
  • REUTERS/Jorge Adorno
VIVA.co.id
Barcelona Masih Mau Beli Striker Walau Sudah Ada MSN
- Gelaran Copa America 2015 akhirnya sampai juga pada akhir dengan melahirkan Chile sebagai juara baru Amerika Latin. Timnas Argentina pun harus rela puasa gelar selama 22 tahun bakal terus berlanjut.

Langkah Timnas Argentina di Olimpiade Rio 2016 Terhenti

Laga final Minggu pagi WIB, 5 Juli 2015, mempertemukan Albiceleste yang dipimpin Lionel Messi dan sang tuan rumah dengan kostum kebanggaan La Roja. Keduanya sama-sama jadi unggulan. Publik memenuhi Estadio National siap menyaksikan laga puncak yang ditunggu-tunggu.
Argentina Terhindar dari Angkat Koper di Olimpiade 2016


Baik Argentina maupun Chile sempat mendapatkan peluang, namun pertandingan berjalan alot meski sudah diperpanjang selama 120 menit. Gelar juara Copa America pun harus ditentukan lewat babak adu penalti.

Messi sempat membuat posisi Argentina lebih baik sebagai eksekutor pertama. Namun, kegagalan Ever Banega dan Gonzalo Higuain bikin nasib Tim Tango di ujung tanduk. Meski di depan puluhan ribu pasang mata pendukung tuan rumah, Chile malah tampil tanpa beban.

Empat eksekutor Chile berhasil melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Matias Fernandez, Arturo Vidal, Charles Aranguiz, dan disempurnakan oleh penalti 'nyeleneh' Alexis Sanchez. Penantian selama 99 tahun akhirnya sirna, Chile untuk pertama kalinya jadi kampiun Amerika Latin.

Salah satu kunci keberhasilan Chile merebut gelar juara adalah penampilan gemilang Claudio Bravo di bawah mistar gawang. Janjinya kepada seluruh kompatriotnya sebelum babak tos-tosan dibayar tuntas.


"Saya sudah bilang ke rekan-rekan di tim, mereka akan gagal di dua penalti dan kami akan menang," kata Bravo seperti dilansir dari Reuters.


"Keinginan utama kami adalah memenangkan sesuatu, kami tahu inilah saatnya. Sebuah kehormatan besar buat generasi ini dan sekarang saatnya untuk menikmatinya. Karena kami tak biasa memenangi sesuatu jadi ini adalah sebuah pengecualian," tambah sang kapten.


Pesta Besar Sang Juara



Benar saja, Estadio National langsung bergetar ketika tendangan Alexis Sanchez berhasil menipu kiper Argentina, Sergio Romero, yang terbang ke arah kiri. Puluhan ribu publik tuan rumah meloncat-loncat sambil mengibarkan syal, kostum, sampai bendera merah-putih-biru berbintang satu khas negara pinggir benua Amerika Selatan tersebut.


Ribuan suporter dengan kostum merah dan bendera Chile memadati jalanan sambil bernyanyi dan berjoget saat menyambut parade tim Chile di atas bus dengan atap terbuka.


Vidal cs diarak menuju ke istana kepresidenan Chile yang dikenal dengan La Moneda. Sesampainya di sana, Presiden Michelle Bachelet, pun menyambut skuad Chile dengan senyum lebar. Dari presiden sampai rakyat jelata pun ikut tersenyum dengan sukses besar tersebut.


Setelah disambut di lorong istana kepresidenan, para pemain Chile pun memamerkan trofi Copa America pertama mereka dari balkon La Moneda. Vidal, Eduardo Vargas, dan Mauricio Pinilla langsung disambut sorak sorai ribuan suporter Chile.


"Ini adalah sesuatu yang menyenangkan buat orang Chile," ujar Arturo Vidal usai pertandingan.


"Kami masyarakat Chile butuh kemenangan, seperti gelar juara ini. Hari ini kami membuat sebuah langkah luar biasa, kami adalah tim terbaik di Amerika," sesumbar pemain Juventus tersebut.


Namun, kemenangan ini juga membuat situasi keamanan ibukota Chile sedikit mencekam saat sekelompok suporter di kawasan Plaza Italia bergesekan dengan pihak kepolisian.


Polisi pun langsung menurunkan sebuah water cannon untuk membubarkan massa yang mulai tak terkontrol. Polisi anti huru-hara berkostum lengkap dengan tameng dan pentungan pun sibuk mengejar suporter yang lari tunggang-langgang.


Ironi Argentina dan Messi




Saat seantero Chile sedang tersenyum puas dan bersenang-senang, kubu Argentina malah harus kembali meratapi kegagalan di final. Tentu, Messi dan kawan-kawan masih ingat betul dengan kegagalan di Brasil pada Piala Dunia 2014.


Sakitnya ketika Mario Goetze menceploskan bola ke gawang Argentina kala itu kembali terasa saat bola Alexis mengoyang jala Romero. Lagi-lagi, Argentina harus membuang angan-angan merebut gelar juara setelah nirgelar 22 tahun.


Penampilan Argentina bak antiklimaks. Setelah menghancurkan Paraguay dengan setengah lusin gol di babak semifinal, Albiceleste tampil seperti kehabisan bensin. Sepanjang pertandingan, hanya tiga tembakan ke arah gawang dibuat tim asuhan Tata Martino tersebut.


"Kami memiliki peluang emas lewat Nico (Otamendi), Pocho (Ezequiel Lavezzi), dan Gonzalo (Higuain) di akhir laga, yang momen itu seharusnya bisa mengubah hasil pertandingan. Saya pikir di laga hari ini, Argentina seharusnya menjadi pemenang," keluh mantan pelatih Barcelona itu.


Ironisnya, penampilan Messi bersama Argentina lagi-lagi kurang berkesan. Peraih empat kali Ballon d'Or ini mencatatkan sentuhan paling sedikit sepanjang Copa America 2015 ini, dan gagal menginsipirasi rekan-rekannya.


Parahnya lagi, laporan dari surat kabar ternama Argentina, Ole, menyebut Messi terlalu ikut campur dalam urusan pemilihan taktik dan strategi yang diterapkan oleh pelatih Gerardo Martino. Indikasi ini muncul sejak partai semifinal Copa America.


Saat Argentina membantai Paraguay dengan skor 6-1, Messi terlihat berdiskusi dengan Martino di pinggir lapangan. Dalam beberapa kesempatan, La Pulga terlihat tak puas dengan instruksi tertentu yang diberikan oleh Martino.


Dia kemudian memprotes instruksi tersebut. Terkadang, Tata --sapaan Martino-- menuruti apa yang dikatakan oleh Messi. Dan fenomena ini disebut-sebut menjadi perusak keseimbangan tim di skuad Argentina.


Sampaoli, Satu-satunya Argentina yang Juara




Ada satu lagi ironi yang tercipta ketika Jorge Sampaoli mengangkat trofi Copa America usai mengalahkan timnas Argentina, yang notabene idolanya di kampung halaman.


Pelatih yang identik dengan kepala plontos ini, sudah melatih Chile sejak 2012 silam. Maka dari itu, dia sudah memiliki hubungan yang cukup dekat dan dalam dengan anak asuhnya hingga tak peduli yang dikalahkannya adalah negaranya sendiri.


"Saya ingin menikmati momen ini bersama para pemain saya. Bisa memenangi Copa America di Chile, bergembira bersama orang-orang. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pemain saya, yang memungkinkan saya menjadi bagian dari hal itu," ujar Sampaoli.


"Penalti Alexis memberi saya kebahagiaan luar biasa. Para pemain bekerja dengan sangat baik. Mereka turun ke lapangan untuk mengejar piala ini. Saya tak melihat satu permainan di sepanjang kompetisi yang menunjukkan bahwa Chile tidak lebih baik daripada rival-rival mereka," imbuhnya.


Final boleh saja telah usai, tapi pesta di kota Santiago dan seantero Chile masih akan berlanjut. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya