Kisah Suporter Arema yang Sukses di Bisnis Konfeksi

Suporter Arema, Nurul Huda
Sumber :
  • Dyah Pitaloka/VIVAbola (27/2)

VIVA.co.id – Sambil menyelam minum air. Pemeo ini cocok menggambarkan kehidupan seorang suporter Arema Cronus, Nurul Huda. Sembari mendukung tim kesayangannya bertanding, pria berusia 42 tahun tersebut sukses membangun usaha konfeksi milik sendiri.

Kontra Bali United, Momen 'Penebusan Dosa' Bagi Arema

Bukan hanya mampu menghidupi keluarga dan memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain, usaha yang dirintis dari nol tersebut juga aktif menyumbang bagi Singo Edan.

Sudah 21 tahun Nurul menggeluti bisnis pembuatan baju dan merchandise Arema. Berawal dari kecintaannya terhadap Singo Edan, kini usaha Nurul bukan hanya mampu menghidupi keluarganya dan membuka lapangan kerja. Nurul juga aktif menyumbang Singo Edan.

Persija Ajukan Banding atas Putusan DRC FIFA

Nurul merupakan warga RT 8 RT 7 Gang VII Mergosono, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Dia bercerita awalnya hanya sebagai suporter Arema biasa. Aremania Onosogrem atau Mergosono ini mengaku cinta dengan Arema sejak klub yang awalnya berkandang di Stadion Gajayana Kota Malang itu ikut dalam kompetisi Galatama, di era 1980-an.

Saat itu, Huda yang masih berusia belasan tahun tak pernah absen mendukung Singo Edan bertanding bersama ribuan Aremania lain. Seperti remaja seusianya, Aremania selalu berduyun-duyun berjalan kaki memenuhi Gajayana dan membeli tiket dari hasil tabungan dan jerih payah bekerja.

VIDEO: Arema Juara Piala Bhayangkara

Selanjutnya



Layaknya suporter bola lainnya, Huda pun suka mengenakan jersey dan berbagai merchandise yang berbau Singo Edan. Meskipun tak bisa membuat sablon kaos dan tak mengenal dunia konfeksi, namun Huda gemar mendesain merchandise sendiri untuk disablon dan dikenakan saat Arema bertanding.

"Ternyata banyak yang ingin juga, terutama jersey. Saya kemudian belajar nyablon kaos dan mulai menjual jersey buatan saya," kata Huda, Kamis 26 Februari 2015.

Tahun 1994 dia mulai mencetak sekitar 10-20 potong kaos suporter kreasinya sendiri dibantu sang istri. Dengan harga Rp15 ribu per potong, kaosnya selalu habis terjual dalam waktu singkat. Di usia muda, sekitar 20 tahun, Huda mulai merintis usaha konfeksi yang kala itu berlabel Gosono Seven, yang maknanya tak jauh dari Gang VII Mergosono.

Jadi Langgaran Jersey Tim Bola

Sejak itu, pasar Huda tak hanya diisi oleh berbagai merchandise dan kaos buatan sendiri. Manajemen Arema pun beberapa kali menggandengnya sebagai mitra resmi dalam membuat jersey tambahan di luar produk apparel yang telah jadi sponsor utamanya.

Bukan hanya Arema, tim sepakbola lain seperti Deltras Sidoarjo, Pusam Samarinda dan sejumlah Sekolah Sepakbola lokal maupun kota lain. Pemesannya datang dari Kalimantan, Papua, atau Sulawesi hingga luar negeri seperti Arab Saudi, Jepang dan juga Malaysia.

"Biasanya Aremania di sana yang pesan, 40 potong atau 100. Bisa Arema ataupun kaos komunitas atau SSB,” bebernya.

Kini, karyawan Nurul sudah mencapai  50 orang. Dengan label barunya One Way, perusahaan Nurul mampu memproduksi mencapai 1000 potong baju dan pernak-pernik di luar baju.

Sekitar 50 persen produksinya masih didominasi oleh Arema. Produknya kini dijual dengan harga antara Rp30 ribu hingga Rp100 ribu. Meskipun tak mau menyebut berapa keuntungan yang diperoleh, namun Huda tampak tak kekurangan dari bisnis konfeksinya itu.

Dia punya satu bengkel yang terpisah dengan kediaman pribadinya serta satu outlet baju Arema bernama Arema Style, di sekitar rel kereta api Mergosono.

"Satu outlet ada di Jomplangan (Jalan RE Martadinata Kota Malang), namanya Arema Style. Semua baju kreasi kami dipajang di situ,” katanya.

Produknya bukan hanya diisi dengan jersey, namun berbagai kaos suporter kreasi sendiri yang unik dan menarik. Dari mulai kaos berwarna biru dan menyematkan logo Arema, hingga kaos warna-warni dengan desain utama singa dengan berbagai pose. Ada pula kaos milik Timnas Garuda Indonesia yang sudah mendapatkan kreasi ala Malangan.



Menyumbang Rp 400 Juta untuk Arema

Menurutnya, produksinya dirasakan booming sekitar 2010, kala Arema masih diarsiteki oleh Robert Rene Albert, pelatih berkebangsaan Belanda. Saat Arema Indonesia menjuarai Liga Super Indonesia pada 2010, pendapatannya naik sampai 300 persen. Hal yang menurutnya tak mungkin bisa dinikmati lagi di masa depan, “dulu kompetitor sangat sedikit, sekarang sudah banyak. Banyak pemainnya jadi rejekinya juga dibagi-bagi,” katanya.

Saat itu pula, manajemen bersama Asosiasi Merchandise Arema Indonesia (AMAI) bersepakat untuk menyumbangkan materi yang nyata bagi Arema. Bentuknya berupa hang tag atau label resmi yang dikeluarkan oleh manajemen Arema dan wajib disematkan pada produk merchandise ataupun jersey Arema produksi anggota AMAI, yang memasang logo Arema. Kebijakan itu muncul kala Arema tak memiliki sponsor resmi untuk apparelnya.

"Harga hang tag antara Rp1000 sampai Rp1500. Kami beli dan kami tempelkan di setiap merchandise atau jersey produk kami. Ini cara kami untuk memberi sumbangan langsung pada Arema, tim yang membesarkan kami,” urai pria yang didapuk sebagai Humas AMAI ini.

Saat itu, Nurul mengaku bisa menyumbang hingga Rp400 juta dalam satu tahun lewat hang tag yang dibelinya dari Arema. Jika dikalkulasi, sedikitnya Huda telah membeli sedikitnya 250 ribu hang tag dalam kurun waktu tersebut.

Pesona karakter singa milik Arema diakui banyak membawa keberuntungan bagi pengusaha merchandise. "Karakter singa kan kuat dan bisa diutak-atik jadi berbagai desain. Jadi lebih menginspirasi,” ujar bapak dua anak tersebut.

Ingin Tetap Menyumbang

Di musim baru ini, Nurul pun tetap berharap bisa berperan ikut membantu Arema Cronus lewat bidang yang digelutinya selama puluhan tahun terakhir. Meskipun Arema telah bekerja sama dengan Specs, namun ada banyak celah bagi produsen lokal untuk bekerja sama dengan Arema

"Bisa jadi mitra resmi, seperti membantu membuatkan jersey latihan jika kurang atau apapun yang dibutuhkan tim,” kata Nurul.

Selain itu, dia berharap ada mekanisme baru seperti hang tag di musim kali ini. Hanya saja, dia berharap, manajemen punya sistem yang melindungi pengusaha asli yang telah membeli hang tag dari serbuan penjual ilegal lainnya.

"Dulu, kami kalah bersaing dengan penjual ilegal yang tak beli hang tag. Mereka bisa mudah menjual merchandise tanpa hang tag dengan harga yang tentu jauh lebih murah daripada harga kami. Jadi jualan kami kalah dan kami kapok ikut skema hang tag itu,” tuturnya.

AMAI yang berisi sekitar 30 pengusaha juga masih menunggu undangan lebih jauh dari manajemen Arema terkait kerjasama soal merchandise tersebut. Meskipun Arema sekarang telah kaya raya, berbeda dengan Arema dahulu yang serba kekurangan, namun Nurul dan pengusaha lainnya tak ingin berhenti berperan dan berterimakasih pada Arema.

"Kemarin sudah berdiskusi awal, tinggal undangan berikutnya. Katanya manajemen sudah menyiapkan aturan main untuk kami. Kami tunggu itu,” kata Nurul. (one)

![vivamore = "
Baca Juga
:"]

Babak 32 Besar Europa League Usai, 8 Fakta Menarik Tercipta

Rasis, Fans Feyenoord Lempar 'Pisang' Raksasa ke Lapangan

Lovren Jadi Biang Kegagalan Liverpool, Ini Kata Rodgers

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya